by: Terry Christian (MUTV journalist)
Pertemuan United v Liverpool berarti pertemuan dua musuh abadi dan bisa dipastikan akan selalu berlangsung dalam atmosfer yang tidak hanya panas, tapi juga mendidih. Itu kenyataannya. Hal ini cukup lucu karena saat saya mulai mendukung United di era 60-an saya mengalami hal yang cukup berbeda. Ingatan pertama saya sebagai fan United adalah kejayaan kita di masa itu yang diisi para pemain seperti Best, Law, dan Charlton. Sementara hanya beberapa mil dari kita, Manchester City, yang dimotori oleh Colin Bell, Franny Lee, dan Mike Summerbee, selalu menjadi duri dalam daging. Dalam waktu dua tahun, City berhasil menjuarai liga, FA Cup, dan pada 1970 mereka meraih cup double dengan raihan Cup Winners' Cup dan League Cup. Jika empat gelar City tersebut ditambah dengan satu European Cup yang diraih United pada 1968 maka Manchester saat itu benar-benar menjadi “The Capital of Trophies”.
Itulah mengapa, bagi para fans United di era tersebut, City tak diragukan merupakan rival utama, yang kemudian diikuti Leeds United, yang sangat tidak populer, karena memainkan gaya sepakbola yang kotor. Sejujurnya, Liverpool bahkan tidak masuk hitungan saat itu. Bahkan bisa dikatakan bahwa Everton-lah yang saat itu merupakan rival dari Merseyside yang sebenarnya. Kebetulan pertandingan pertama United yang saya saksikan adalah saat melawan Everton di Old Trafford dan kita kalah 0-2, dua minggu kemudian Everton kembali membantai kita 3-0 di Goodison Park. Mereka akhirnya menjuarai liga musim itu (1969/70). Saat itu fans United betul-betul membenci tim biru Merseyside. Liverpool? Well, musim itu kita mengalahkan mereka 1-0 di Old Trafford dan dengan nyaman membantai mereka 4-1 di Anfield. Rival? Tidak juga.
Mungkin sekarang terdengar sangat konyol, tapi ini harus saya sampaikan: kita justru dulu bersimpati pada Liverpool. Mereka mempunyai beberapa pemain bagus, seperti Peter Thompson, pemain sayap yang penuh trik, dan striker Roger Hunt. Manajer mereka, Bill Shankly adalah teman dekat Sir Matt Busby. Saya pikir tak seorang pun dari teman saya yang menyaksikan final FA Cup 1971 antara Liverpool melawan Arsenal yang menginginkan tim Scousers itu kalah. Aneh bukan?
Era baru dominasi Liverpool dimulai dengan double yang mereka raih lewat gelar liga dan UEFA Cup 1973. Meski demikian, fans United tidak terlalu mengkhawatirkannya, bahkan bagi kita, lebih baik Liverpool yang menjuarai liga daripada Leeds yang kotor. Namun, memang saat itu mulai muncul beberapa fans Liverpool yang cukup vokal menyuarakan kebencian kepada United, ditambah lagi gaya permainan Liverpool yang mulai mengikuti gaya kotor Leeds, bibit rivalitas United dengan Liverpool pun mulai tumbuh.
Di era 70-an, liga didominasi oleh permainan defensif dan kotor, banyak tim yang lebih menekankan pendekatan otot. Di musim 1971/72 Derby County menjuarai liga, tepat dibelakangnya berturut-turut di posisi dua, tiga, empat: Liverpool, Leeds, dan City. Saat itu pertahanan benar-benar menjadi prioritas nyaris semua tim. Permainan bertahan merebak dimana-mana dan rataan jumlah penonton pun menjadi menurun.
Fans Liverpool mulai berkoar tentang tim mereka sebagai yang terbaik di liga. Tapi sejujurnya kita tidak terlalu terganggu, yang paling mengganggu kita bukanlah kesuksesan Liverpool, tapi cara bermain mereka yang negatif, banyak mengandalkan back pass, dan hanya mengandalkan serangan balik. (Fakta yang cukup menarik adalah bahwa Liverpool selalu gagal menjuarai liga sejak peraturan back pass diberlakukan sampai saat ini). Di samping semua hal itu, menurut saya, rivalitas kita dengan Scousers mulai tumbuh karena kecemburuan mereka terhadap gaya bermain kita. Mereka tidak bisa menandingi kemegahan gaya bermain trio Best-Law-Charlton. Tim kita diisi para jenius yang bermain sepakbola dengan elegan yang menutupi sorotan terhadap raihan dua gelar liga Liverpool pada dekade tersebut. Itu fakta.
Pada musim 1973/74 United akhirnya terjerembab ke jurang degradasi. Hanya semusim. Pada 1975/76 kita kembali ke divisi tertinggi dengan status sebagai juara divisi dua. Di musim itu, United bermain di depan rataan jumlah 50.000 penonton dengan skuad yang muda, kuat, kreatif, dan pemainan yang atraktif.
Padahal dibanding tim lainnya, kita relatif berisikan manusia-manusia kerdil. United asuhan Tommy Docherty saat itu hanya mempunyai tinggi rata-rata 175 cm dengan umur rata-rata 23 tahun. Meskipun begitu, kita mengejutkan liga dengan gaya bermain yang menyerang total, menghancurkan Sheffield United 5-1 pada laga pembuka di Old Trafford. United are back! Kita langsung memenuhi headline surat-surat kabar yang pada saat itu mungkin sudah sangat jenuh memberitakan permainan defensif dan membosankan dari tim-tim lain.
Malang tak dapat ditolak, kita dihantui cedera menjelang akhir musim, sehingga akhirnya hanya berhasil finish di peringkat ketiga, empat angka lebih sedikit dari Liverpool yang menjadi juara. Namun ingat, kita meraihnya dengan status sebagai tim promosi, dan jika sedikit saja lebih beruntung, kita bisa meraih double dengan menjuarai FA Cup, sayangnya kita terhempas di final oleh Southampton dengan skor 1-0 meski sepanjang laga final itu kita mendominasi.
Dan ini dia, Musim 1976/77: Liverpool kembali menjuarai liga, dengan City sebagai runner-up. Saat itu mereka juga telah berada di final FA Cup dan untuk pertama kalinya masuk final European Champions Cup. Sejarah treble ada di depan mata mereka. Liverpool akhirnya memang berhasil menjadi juara Eropa untuk pertama kalinya setelah mengalahkan Borussia Muenchengladbach, tapi… mereka menangis di FA Cup. Kita, Manchester United, mengalahkan mereka 2-1 di Wembley sekaligus mengubur impian mereka untuk mengukir treble. Bagi saya, dan setiap fans United saat itu, hari dimana kita mengacaukan pesta para Scousers di Wembley adalah hari penuh kemenangan! Para Liverpudlians harus menerima kenyataan bahwa mereka telah meraih double yang luar biasa dengan meraih gelar liga dan Eropa, tapi mereka tak mampu menyentuh keagungan sebuah treble. Wembley, 21 Mei 1977: kebencian antara dua kubu benar-benar dimulai saat itu dan tak pernah redup setelahnya. That was the first rage point of this Reds Rivalry.
Akhir dekade 70-an dan sepanjang dekade 80-an adalah masa-masa penuh kegelapan bagi United, Liverpool mendominasi. Kita hanya mampu mendekati mereka, tapi tak pernah mampu mengatasi jurang perbedaan yang ada. Di bawah Dave Sexton, kita mencoba bermain dengan gaya negatif: menang 1-0 kemudian bertahan, tak ada gaya, fans United membenci hal itu. Sexton pun dipecat meski United berhasil memenangi tujuh pertandingan berturut-turut. Rataan penonton di Old Trafford menurun. Sepakbola efektif tapi jauh dari atraktif bukanlah gaya yang ingin dilihat Red Army. Itu bukan gaya United. Kemudian datanglah Ron Atkinson, juga sederet pemain mahal. Sepakbola seksi ala United pun kembali. Namun Liverpool tetap mendominasi liga meski United sering mengalahkan mereka kandang maupun tandang di era itu.
Dekade 80-an United meraih beberapa kesuksesan di ajang FA Cup, tapi yang paling memuaskan Red Army adalah kekalahan-kekalahan yang rutin ditimpakan terhadap Liverpool. Kebencian Scousers terhadap United menggelitik saya. Mereka sangat membenci kita walaupun mereka sendiri telah meraih berbagai kesuksesan. Ini masalah status. Berapa pun jumlah Champions Cup yang diraih Liverpool, United tetap merupakan tim Inggris pertama yang meraihnya. Berapa pun gelar liga yang mereka rebut, United tetap lebih populer dan lebih elegan dalam bermain.
Reputasi Liverpool di Eropa dibangun dengan penampilan yang tidak bisa dibilang luar biasa. Itu bertepatan dengan masa dimana standar permainan tim-tim Eropa sedang berada di titik terendah. (Sekedar pengingat: juara piala dunia 1982 adalah Italia dengan permainan Catenaccio yang menjemukan, sedangkan juara piala dunia 1986 bukanlah tim Eropa, tapi Argentina)
Tahun-tahun kejayaan Liverpool di Eropa saat itu didapatkan saat menghadapi tim-tim antah barantah seperti Crusaders dari Irlandia Utara, Oulu Palloseura dari Finlandia, Trabzonspor dari Turki, dan beberapa tim pemenang liga kelas dua di Eropa. Reputasi kehebatan Liverpool di Eropa terlalu dibesar-besarkan, dan saya pikir para Liverpudlians yang lebih tua menyadari hal tersebut. Lima gelar Eropa dan delapan belas gelar liga mereka memang pencapaian yang hebat, tapi berapakah gelar liga dan gelar Eropa yang akan diraih United jika The Busby Babes tidak meninggal di Munich? Ini bukanlah sebuah khayalan romantis. Tanyakan pada setiap fan sepakbola dan siapapun yang terlibat di permainan ini saat itu, mereka semua akan berkata bahwa tim Busby Babes adalah yang terbaik sepanjang masa.
United adalah hikayat teragung sebuah klub sepakbola. Tradisi, sejarah, gaya bermain, menang maupun kalah, telah menambatkan United pada hati jutaan orang. Ok, Liverpool mungkin sedikit lebih sukses dalam hal gelar, terutama di Eropa. Tapi saya berani mempertaruhkan rumah saya bahwa United akan mencapai gelar liga ke 20 terlebih dahulu, dan tambahkan lagi… 10 trofi Liga Champion di masa depan. United We Stand!
Follow Terry Christian: @terrychristian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar